• slide 1

    No Excuse! for Professional and Worker

    Jika Anda berhasil melepas hambatan excuse, produktivas kerja dan penghasilan akan berlipat ganda

  • slide 2

    Workshop Menulis

    Menulis membuat Anda mempunyai nilai lebih, membuat ide tidak mati dan abadi

  • slide 3

    No Excuse! for Education

    Raih hasil terbaik di dunia akademisi dengan menaklukkan segala excuse yang menghambat kesuksesan di dunia pendidikan

  • slide 4

    Buku dan Penerbitan

    Abadikan ide Anda. Ternyata membuat buku lebih mudah dari mengarang satu buah cerpen. Terbukti di sini.

  • slide 5

    Workshop Menulis Anak dan Remaja

    Kemampuan menulis akan sangat bermanfaat untuk masa depan anak-anak. Yang penting ditanamkan adalah kecintaan pada menulis dan dasar penulisan yang benar

  • slide 7

    Workshop dan Seminar Jurnalistik

    Jurnalisme bukan sekedar berita, informasi atau bacaan, tapi cara kita menjadi bagian perubahan dunia

  • slide nav 1

    Workshop No Excuse!

    Membangkitkan semangat pekerja dan profesional untuk meningkatkan pencapaiannya
  • slide nav 2

    Workshop Menulis

    Metode terkini, update, mudah diaplikasikan dan karya layak akan diterbitkan
  • slide nav 3

    No Excuse! for Education

    Pendidikan dengan semangat No Excuse! akan menjamin masa depan bangsa
  • slide nav 4

    Workshop Buat Buku

    Membangun semangat untuk minimal menghasilkan satu karya buku sebelum mati
  • slide nav 5

    Workshop Menulis Anak

    Menumbuhkan rasa cinta dan kemampuan membaca dan menulis sejak dini
  • slide nav 6

    Workshop Jurnalistik

    Membangun media sebagai salah satu pilar perubahan untuk masa depan lebih baik
  • slide nav 7

    Workshop No Excuse!

    Membangkitkan semangat pekerja dan profesional untuk meningkatkan pencapaiannya

Selamat Datang di Komunitas Bisa!

/*--------------------- menufs3 ateonsoft.com ------------------------*/ #menufs3-wrapper {width:100%; height:27px; background: #000000 url('http://www.geocities.com/f_415_47/HMenuImage/menufs3bg.gif') repeat-x top left; border-top:1px solid #333; padding-left:0px; margin-bottom:9px; overflow:hidden} #menufs3-wrapper h2 {display:none} #menufs3, #menufs3 ul {padding: 0px; margin: 0; list-style: none; font: normal 0.95em arial; color:#fff;} #menufs3 a {display: block;text-decoration: none; border-right: 1px solid #000; border-left: 1px solid #202020; color: #fff; background: #000 url('http://www.geocities.com/f_415_47/HMenuImage/menufs3bg.gif') repeat-x top left;; padding-left:9px; padding-right:9px; padding-top:6px; padding-bottom:7px} #menufs3 a.awal {padding: 0px; border-left: 0px none;width: 90px; height:27px; background: #000 url('http://www.geocities.com/f_415_47/HMenuImage/menufs3Awal.gif') no-repeat;} #menufs3 a.awal:hover{background: #000 url('http://www.geocities.com/f_415_47/HMenuImage/menufs3Awalhvr.gif') no-repeat;} #menufs3 a.awal em {display:none;} #menufs3 a.IndukMenu {font-weight:bold; text-transform:uppercase;} #menufs3 a.akhir {padding: 0px; border-left: 0px none; border-right: 0px none; width: 27px; height:27px; background: #000 url('http://www.geocities.com/f_415_47/HMenuImage/menufs3logoVisited.gif') no-repeat;} #menufs3 a.akhir:hover {background: #000 url('http://www.geocities.com/f_415_47/HMenuImage/menufs3logoHvr.gif') no-repeat;} #menufs3 a.akhir em {display:none;} #menufs3 li {float: left;width: 9em;} #menufs3 li.akhir{border-left: 1px solid #202020; height:27px; width: 1px; padding: 0px} #menufs3 li.akhir em{display:none;} #menufs3 li.kanan{float: right; border-left: 0px none;} #menufs3 li ul, #menufs3 ul li {width: 14em;} #menufs3 ul li a {color: #565656;border-left: 0px none; border-right: 0px none; padding-left:5px; padding-right:10px; padding-top:5px; padding-bottom:5px} #menufs3 li ul {position: absolute; display: none; background-color: #000000; z-index:200;border-right: 1px solid #141414; border-left: 1px solid #141414; border-bottom: 1px solid #141414; margin-left:-1px;text-align: left;} #menufs3 li:hover a, #menufs3 a:focus, #menufs3 a:active{color: #ffff00; background-color: #000; background-image:url('http://www.geocities.com/f_415_47/HMenuImage/menufs3hvr.gif'); background-repeat:repeat-x} #menufs3 li:hover ul{display: block;} #menufs3 li:hover ul a{color: #fff; border-top:1px solid #141414; background-image:url('none');} #menufs3 ul a:hover {background-color: #202020!important;color: #ffff00!important;} #menufs3 li {width: auto;}

Delete this element to display blogger navbar

Seandainya saja kita berpikir “Dinar”

Posted by Isa Alamsyah at 12:14 PM
Isa Alamsyah


Sebagian besar dari Anda yang tahu ekonomi,

mungkin akan menganggap gila kalau ada yang mengatakan bahwa ada mata uang yang tidak mengenal inflasi.


Di manapun kita belajar ekonomi, pasti diajarkan apa yang namanya inflasi.

Tapi ternyata, ada mata uang yang sejak 1400 tahun lalu sampai sekarang nilainya sama.

Apa itu? “Dinar”

Apa benar? Tentu saja.

Dalam sejarah (sebagaimana diungkap dalam hadis) dinyatakan satu dinar di masa

Rasulullah Muhammad Saw, cukup untuk membeli 1 ekor kambing.

Ternyata saat ini (tahun 2011) satu keeping dinar juga tetap cukup untuk membeli 1 ekor kambing.



Waktu selama 1400 tahun nampaknya cukup untuk membuktikan bahwa konsep mata uang tanpa inflasi

bukan omong kosong.

Malah jika dibandingkan dengan seluruh mata uang yang beredar di seluruh dunia,

mata uang “Dinar” justru mengalami peningkatan nilai nominal bukan inflasi.

Misalnya untuk pergi haji, di tahun 1997 orang butuh 97 dinar untuk pergi haji, tapi tahun 2003 hanya butuh 50 dinar untuk pergi haji, dan tahun 2010 cukup dengan 22 dinar kita bisa pergi haji.



Tapi mari luruskan dahulu apa yang dimaksud dengan dinar ini.

Yang dimaksud dengan mata uang “Dinar” di sini adalah koin dinar berbahan dasar emas 22 karat dengan berat 4,25 gr yang standarisasinya ditetapkan oleh Umar Bin Khattab. Jangan terkecoh dengan mata uang Dinar Iraq, Dinar Kuwait, Dinar Libya, dsb, karena dinar tersebut cuma dinar nama atau dinar pelabelan, bukan dinar emas.



Saya sendiri tidak pernah terpikir tentang mata uang “Dinar” seperti ini sampai saya membaca buku “Think Dinar” yang ditulis oleh Endy J Kurniawan.

Buku ini membuka mata saya betapa mata uang dinar bisa menyelamatkan dunia.

Dengan Dinar, mungkin tidak ada lagi spekulan mata uang, tidak ada lagi krisis moneter,

karena semua takarannya adalah emas, perak (dirham).

Tapi tentu saja sulit mengubah tatanan ekonomi yang sudah begitu mengakar.



Karena itu Negara manapun yang berani lebih dulu mengadopsi system dinar,

maka akan menjadi negara yang paling kebal krisis dan inflasi.

Misalnya saja Indonesia punya Dinar Indonesia.

Tiba tiba mata uang Indonesia dianggap jatuh seperti krisis moneter dulu.



Tidak usah khawatir, jual saja saja emasnya.

Jadi tidak akan pernah jatuh.



Selama ini terbukti harga emas tidak pernah jatuh.

(turun fluktuatif, iya, tapi setiap tahun pada akhirnya meningkat).



Lalu bagaimana mungkin kita berbelanja kalau harus menenteng emas kemana-mana?

Ya tetap saja uang kertas ada, tapi uang kertas dengan konsep dinar adalah sertifikat emas.



Uang kertas zaman dahulu konsepnya sama dengan dinar.

Uang kertas zaman dahulu adalah sertifikat emas.

Setiap uang kertas dicetak, maka ada cadangan emas dengan nilai tertentu yang disimpan.

Tapi itu dulu, sekarang emas dan mata uang tidak ada hubungannya.

Ketika Amerika kehabisan sumber daya akibat perang di Vietnam dan butuh banyak uang,

maka Amerika mencetak uang sebanyak-banyaknya dengan tidak lagi memperhitungkan cadangan emas.

Amerika bahkan membatalkan perjanjian Internasional yang menentukan hitungan mata uang dan cadangan emas.

Sejak saat itu mencetak uang dan emas tidak ada kaitannya lagi.



Saat ini dunia masih tetap berhadapan dengan resiko krisis .



Negara maju dan kaya walaupun kelihatannya mendukung system moneter yang sedang dipakai saat ini,

diam diam mempersiapkan diri kalau kalau terjadi resesi.

Apa yang mereka siapakan. Emas.

Kini hampir semua Negara besar menambah stok emas sebagai cadangan mereka.

Sayangnya Indonesia yang justru menurut Wikipedia mempunyai tambang emas terbesar di dunia,

tersedot emasnya keluar negeri.



Seandainya saja kita berpikir “Dinar”…





Lalu apakah ada manfaatnya berpikir dinar untuk perorangan?

Untungnya Buku Think Dinar karya Endy J. Kurniawan justru membahas betapa untungnya jika kita berpikir Dinar untuk masa depan diri dan keluarga.

Lihat saja motonya” Think Dinar, Muslim Kaya Hari Ini, Super Kaya di Masa Depan”

Jadi ini justru untuk persiapan masa depan individu dan keluarga.

Bahasanya mudah dicerna jadi bisa dipahami siapa saja.

Anak SMA, ibu rumah tangga juga bisa memahami konsep yang ditawarkan Endy dalam buku ini.

Kalau Anda mau menabung yang menguntungkan, jawabannya Dinar bukan deposito bukan tabungan di bank, kenapa?

Di buku Think Dinar dijawab tuntas.

Kalau mau investasi yang aman tanpa banyak pertimbangan, jawabannya Dinar, bukan main saham, bukan asuransi, bukan danareksa. Kenapa? Dijawab tuntas di buku Think Dinar.

Kalau Anda ingin menabung untuk pernikahan, haji, pendidikan anak, jawabannya ada di Dinar.Buku ini akan menjabarkan kenapa Dinarlebih unggul dari property, saham, tabungan, deposito, asuransi, dsb.

Anda akan takjub melihat betapa banyak solusi financial yang bisa Anda temukan jika anda “Think Dinar”

Selamat membaca bukunya.

Kemungkinan besar Anda menyesal baru tahu konsep dinar sekarang,

karena seandainya saja kita sudah tahu sejak lama, tentu saja kehidupan saat ini jauh lebih baik.

0 comments :

Post a Comment

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More